Senin, 19 Oktober 2015

MANAJEMEN KONFLIK DALAM LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
Tugas ini dibuat guna memenuhi tugas matakuliah
Manajemen Lembaga Pendidikan Islam
Dosen Pengampu: Hendro Widodo, M.Pd.




Di susun oleh:
KELOMPOK 7
1.      Mohamad Sholikin            (09470107)
2.      Tri Pariyatun                     (09470111)
3.      Nur Setyaningsih              (09470112)
4.      Sri Hartati                                     (09470114)
5.      Nur Fitriana                       (09470116)
KI – C

JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2011




PENDAHULUAN
A.    Latar belakang masalah
Manajemen didalam dunia pendidikan ataupun bisnis memiliki peran penting untuk mengantarkan kemajuan organisasi. Menurut Nanang Fatah dalam bukunya Landasan Manajemen Pendidikan, teori manajemen mempunyai peran atau membantu menjelaskan perilaku organisasi yang berkaitan dengan motivasi, produktivitas, dan kepuasan (satisfaction). Dengan demikian, manajemen merupakan factor dominan dalam kemajuan organisasi.[1]
Sebagai manusia sosial yang berada dalam lingkungan bermasyarakat dan berorganisasi tentunya pasti akan mengalami interaksi. Dalam proses interaksi ini manusia selalu dihadapkan dengan konflik-konflik yang disebabkan oleh berbagai sumber. Manajemen  merupakan pengorganisasian yang melibatkan banyak orang dan bekerja sama untuk mencapai tujuan tertentu, tidak jarang di dalam organisasi terjadi perbedaan pandangan, ketidakcocokan, serta pertentangan yang terkadang menimbulkan banyak konflik. Dalam organisasi manapun terdapat konflik, mulai dari konflik kecil hingga konflik besar, baik secara tersembunyi maupun yang muncul secara terang-terangan. Begitu pula yang terjadi didalam manajemen lembaga pendidikan islam.
Untuk lebih jelasnya, dalam makalah ini kami akan sedikit memaparkan mengenai problematika manajemen konflik didalam lembaga pesantren.
B.     Rumusan masalah
Dari uraian diatas dapat ditarik pertanyaan:
1.      Apa yang dimaksud dengan manajemen konflik dalam lembaga pendidikan islam?
2.      Problematika apa yang terdapat di dalam manajemen konflik terutama di dalam lembaga pesantren ?
PEMBAHASAN
A.    Makna Manajemen, Konflik dan Manajemen Konflik
1.      Pengertian Manajemen
Manajemen adalah:
a.       Manajemen dalam arti luas : menunjuk pada rangkaian kegiatan , dari perencanaan akan dilaksanakannnya kegiatan sampai penilaiannya.
b.      Manajemen dalam arti sempit :  terbatas pada inti kegiatan nyata, mengatur atau mengelola kelancaran kegiatan, mengatur kecekatan personal yang melaksanakan, pengaturan sarana pendukung, pengaturan dana, dan lain-lain, tetapi masih terkait dengan kegiatan nyata yang sedang berlangsung.
c.       “Manajemen” dari bahasa Inggris “ Administration”, sebagai “the management of excecutive affairs”.  Dalam pengertian ini,  manajemen bukan hanya pengaturan yang terkait dengan  pekerjaan tulis-menulis, tetapi pengaturan dan arti luas.[2]
Di bawah ini terdapat beberapa pengertian mengenai manajemen, diantaranya:
a.       Menurut The Liang Gie dalam buku Manajemen Pendidikan  mengatakan: manajemen sebagai seni perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian dan pngontrolan terhadap sumber daya manusia dan alam untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. [3]
b.      Dalam kurikulum 1975 disebutkan bahwa manajemen adalah segala usaha bersama untuk mendayagunakan semua sumber-sumber secara efektif dan efisien guna menunjang tercapainya tujuan pendidika.
c.       Menurut Muljani A. Nurhadi, menyatakan bahwa manajemen merupakan suatu kegiatan atau rangkaian kegiatan yang brupa proses pengelolaan usaha kerjasama sekelompok manusia yang tergabung dalam organisasi pendidikan, untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan sebelumnya, agar efektif dan efisien.[4]
Menurut hemat manajemen dapat juga diartikan ke dalam tiga bagian yaitu usaha kerja sama, dalam sekelompok orang, dan dalam menentukan tujuan tertentu yang ditetapkan sebelumnya.
2.      Pengertian Konflik
Ditinjau dari akar katanya, istilah konfllik berasal dari kata configrere atau conficium,  yang artinya benturan menunjuk kepada semua benturan, tabrakan, ketidaksesuaian, pertentangan, oposisi, dan interaksi-interaksi yang bersifat antagonis. Beberapa pendapat menyatakan bahwa:
a.       Afzalur Rahim menyatakan bahwa konflik dapat didefinisikan sebagai keadaan interaktif yang termanifestasikan kedalam sikap ketidakcocokan, pertentangan, atau perbedaan dengan atau antara entitas social, seperti individu, kelompok, atau organisasi.
b.      Wahyosumidjo yang mendefinisikan konflik secara lebih simple, yaitu segala macam bentuk hubungan manusia yang mengandung sifat yang berlawanan.[5]
Menurut hemat kami, dari kedua pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa manajemen konflik merupakan suatu langkah yang diambil oleh manajer untuk mengendalikan konflik yang terjadi sehingga tujuan pendidikan dapat terwujud secara optimal.

B.     Penyebab-Penyebab Terjadi Konflik
1.      Adanya perbedaan pendapat yang masing-masing merasa paling benar sehingga menimbulkan ketegangan.
2.      Adanya salah paham.
3.      Salah satu atau dua pihak merasa dirugikan.
4.      Terlalu sensitive.
Konflik yang terjadi di lembaga-lembaga pada umumnya dikarenakan:
1.      Adanya perbedaan persepsi terhadap suatu pekerjaan,
2.      Perbedaan sifat dan karakteristik yang ada pada setiap individu,
3.      Terjadinya salah paham dalam komunikasi,
4.      Perbedaan nilai, pandangan dan tugas,
5.      Tidak menyetujui terhadap butir-butir yang terdapat dalam hasil keputusan,
6.      Adanya frustasi dan kejengkelan terkait dengan masalah pribadi yang dialaminya,
7.      Berkaitan dengan pertanggungjawaban dalam kerja team,
8.      Persaingan memperebutkan status/promosi, berkurangnya sumber-sumber tertentu.
C.    Jenis-Jenis Manajemen Konflik
Dalam manajemen knflik memiliki jenis atau bentuk konflik yang sering terjadi dilapangan baik dari segi pelaku ataupun dari perannya. Menurut G. Owens menyebutkan bahwa konflik dapat terjadi antara seseorang atau unit-unit social yang disebut dengan konflik interpersonal, intergroup, dan internasional. Adapun tingkatan dari manajemen konflik itu sendiri terdiri dari:
1.      Konflik interpersonal, suatu konflik yang terdiri didalam diri seseorang.
2.      Konflik intergroup, suatu konflik yang terjadi antara dua individu atau lebih.
3.      Konflik intragroup, konflik antara dua atau beberapa orang dalam satu group.
4.      Konflik intergroup, konflik yang terjadai antar kelompok.
5.      Konflik intraorganisasi konflik yang terjadi antarunit dalam organisasi.
6.      Konflik interorganisasi, yaitu konflik yang terjadi aantar organisasi.[6]
Jenis dan bentuk konflik itu memiliki implikasi dan konsikuensi bagi manajer lembaga pendidikan islam. Hal ini karena mamajer memiliki peran yang fungsional dalam mengelola konflik dan diharapkan mampu mengelolanya sebaik mungkin sehingga menghasilkan kepuasan bagi semua pihak, terutama pihak yang berkonflik.
Adapun kegiatan-kegiatan atau tahapan-tahapan yang perlu dilakukan dalam manajemen konflik meliputi:
1.      Perencanaan analisis konflik,
2.      Penilaian konflik, dan
3.      Pemecahan konflik.
D.    Problematika Manajemen Konflik dalam Pendidikan Islam di Lingkungan Pesantren
Di dalam sebuah konflik dapat menimbulkan beberapa kemungkinan mengenai akibat-akibat atau resiko tertentu dan bahkan bisa terdapat kemungkinan menimbulkan hal-hal yang positif. Konflik yang dapat menguntungkan kegiatan organisasi atau perorangan apabila hal tersebut dapat merangsang timbulnya gagasan-gagasan baru untuk meningkat efisiensi dan efektivitas kegiatan kelompok dalam memecahkan masalah, dan menjaga agar kelompok selalu memperdulikan berbagai kepentingan anggota. Oleh karena itu, kemunculan sebuah konflik timbul tergantung pada manajemennya sendiri.
Seperti halnya yang diungkapkan oleh G.W. Alloprt yang dikutip oleh Hanson, menyatakan bahwa semakin banyak sarjana social yang memaparkan bahwa konflik itu sendiri bukan kejahatan, tetapi lebih merupakan suatu gejala yang memiliki pengaruh-pengaruh konstruktif atau destruktif, tergantung pada manajemennya.[7]
Ada beberapa pandangan dalam konflik yang menimbulkan perbedaan sehingga berpengaruh ganda konflik, diantaranya:
a.       Pandangan pertama menganggap bahwa konflik merupakan suatu gejala yang membahayakan dan pertanda instabilitas organisasi/lembaga.
b.      Pandangan kedua beranggapan bahwa konflik itu menunjukkan adanya dinamika di dalam organisasi/lembaga, yang bisa mempertahankan pada kemajuan.[8]
Dari kedua pandangan diatas terdapat usaha memacu kemajuan sebagai respons positif terhadap adanya konflik tersebut. Dengan demikian, dengan adanya kedua pandangan tersebut dapat disatukan dengan sebuah kesepakatan yaitu adanya manajemen konflik.
Konflik itu muncul karena dipicu oleh beberapa sumber. MenurutWahjosumidjo yang dikutip oleh Mujamil Qomar dalam bukunya yang berjudul manajemen pendidikan islam menyebutkan bahwa” konflik itu sendiri terjadi selalu bersumber pada manusia dan perilakunya, disamping pada struktur organisasi dan komunikasi”. Khusus didalam lembaga pesantren, laporan hasil penelitian dari Hamdan Farchan dan Syarifudin menyatakan bahwa akar konflik didunia pesantren berdasarkan dari konflik keluarga, konflik politik, perebutan pengakuan umat, feodalisme, dan manajemen.[9]
Sebagaimana yang terjadi didalam pesantren terdapat beberapa sumber konflik yang penyebabnya bersumber pada manusia. Hal ini terjadi akibat dari tingkah laku manusia yang kurang sehat sehingga masalah yang sederhana hmenjadi besar karena pengaruh dari berbagai provokasi. Pemahaman “konflik” di lembaga pesantren selama ini lebih banyak diartikan secara tradisional, yang menganggap bahwa konflik adalah hal yang tidak perlu dan bahwasanya ia merupakan suatu yang merugikan. Dengan berlangsungnya waktu sudah seharusnya sikap orang tentang konflik dalam pesantren mengalami perubahan. Pandangan yang berlaku sekarang adalah bahwasanya konflik-konflik di dalam pesantren merupakan hal yang tidak dapat dihindari, dan bahkan konflik-konflik itu perlu, terlepas dari bagaimana lembaga tersebut dimanaj, didesain dan dioperasikan.
Kiranya tidak akan ada yang menyanggah kebenaran pendapat yang menyatakan bahwa agar evektifitas lembaga dapat dipertahankan dan kekompakan ditingkatkan, konflik yang timbul baik pada tingkat individual, tingkat kelompok dan antar kelompok harus diselesaikan. Penyelesaian dimaksud tidak harus berarti bahwa konflik dikurangi atau dihilangkan sama sekali, melainkan dikelola (dimanaj) sedemikian rupa sehingga meningkatkan efektivitas individu, kelompok dan organisasi.[10]
Menurut Mastuhu (lihat Manfred Oepen, 1988;280-288) ada 10 prinsip yang berlaku pada pendidikan di pesantren. Kesepuluh prinsip itu menggambarkan kira-kira 10 ciri utama tujuan pendidikan pesantren, antara lain sebagai berikut:
  1. Memiliki kebijaksanaan menurut ajaran agama Islam.
  2. Memiliki kebebasan yang terpimpin.
  3. Berkemampuan mengatur diri sendiri.
  4. Memiliki rasa kebersamaan yang tinggi.
  5. Menghormati orang tua dan guru.
  6. Cinta kepada Ilmu.
  7. Mandiri. Jika mengatur diri sendiri kita sebut otonomi, maka mandiri yang dimaksud adalah berdiri atas kekuatan sendiri.
  8. Kesederhanaan.  Dilihat secara lahiriah sederhana memang mirip dengan miskin. Padahal yang dimaksud dengan sederhana di pesantren adalah sikap hidup, yaitu sikap memandang sesuatu, terutama materi, secara wajar, proporsional, dan fungsional.[11]
Secara lebih tegas hendak kita mengusulkan agar dirancang kerjasama yang erat antara lembaga pendidikan sekolah dengan pesantren. Secara lebih tegas diusulkan juga hendaknya para pengeritik kiai dan atau pesantren berpikir lebih menegara bahkan lebih mendunia; dengan cara berpikir seperti itu orang dapat memperoleh kemampuan mendahulukan yang penting dan membelakangkan yang kurang penting. Dalam hal ini rekayasa budaya yang Pancasialis lebih luas dampak positifnya ketimbang menghilangkan hal-hal yang dianggap oleh sebagian orang sebagai bid’ah.[12]
Dalam lingkungan pesantren ternyata memiliki tahapan tersendiri dalam menyelesaikan konflik yang tidak lazim terjadai dilembaga pendidikan lainnya. Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penyelesaian konflik  melibatkan kultur yang telah mentradisi. Hal ini karena bagi mereka tradisi merupakan jembatan dalam meminimalisasi konflik yang terjadi diantara mereka. [13]
E.     Kelemahan dan Kelebihan
Didalam menejemen konflik khususnya di lembaga pesantren terdapat beberapa kelebihan dan kelemahan. Adapun kelebihannya meliputi adanya kegigihan dan kerjasama antar pihak yang terkait terjadi kompromi dan  kolaborasi yang bertujuan untuk pemecahan masalah yang paling efektif. Sedangkan kekurangan didalam lembaga pesantren suatu pemecahan masalah masih bersifat tradisional karena tradisi bagi mereka memiliki posisi yang sangat kuat dan fungsi yang jelas termasuk sebagai jembatan dalam meminimalisasi konflik yang terjadi. Hal ini menyebabkan adanya pandangan buruk atau ketidaklaziman dilembaga pendidikan lainnya.

















PENUTUP
Kesimpulan
Manajemen konflik merupakan suatu langkah yang diambil oleh manajer untuk mengendalikan konflik yang terjadi sehingga tujuan pendidikan dapat terwujud secara optimal. Konflik yang terjadi dikarenakan adanya perbedaan pendapat yang masing-masing merasa paling benar sehingga menimbulkan ketegangan, adanya salah paham, salah satu atau dua pihak merasa dirugikan dan terlalu sensitive. Konflik dapat terjadi antara seseorang atau unit-unit social yang disebut dengan konflik interpersonal, intergroup, dan internasional. Konflik dapat menguntungkan kegiatan organisasi atau perorangan apabila dapat merangsang timbulnya gagasan-gagasan baru untuk meningkat efisiensi dan efektivitas kegiatan kelompok dalam memecahkan masalah, dan menjaga agar kelompok selalu memperdulikan berbagai kepentingan anggota. Konflik memiliki dampak positif tergantung manajemennya sendiri.



















DAFTAR PUSTAKA
Mulyono. Manajemen Administrasi dan Organisasi Pendidikan . Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 2009.
Mustafidin, Ahmad.”Manajemen Konflik Relevansinya Dengan Pengembangan Lembaga Pendidikan Islam (Studi Kasus Pesantren Darul Amanah Sukorejo Kendal Jawa Tengah)”. Skripsi S1 . Fakultas Tarbiyah, IAIN Walisongo. 2004. 
Qamar, Mujamil. Manajemen Pendidikan Islam . Jakarta: Erlangga. 2007.
Suharsimi Arikunto dkk, Manajemen Pendidikan. Yogyakarta: Aditya Media. 2009.
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan Dalam Presfektif Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 1992.




[1]Mujamil Qamar, Manajemen Pendidikan Islam  (Jakarta: Erlangga 2007). Hal. 3
[2] Suharsimi Arikunto dkk, Manajemen Pendidikan  (Yogyakarta: Aditya Media 2009). Hal. 2
[3]Mulyono, Manajemen Administrasi dan Organisasi Pendidikan (Yogyakarta: ar-ruzz media 2009). Hal. 17
[4]Suharsimi Arikunto dkk, Manajemen …….. Hal. 3
[5] Mujamil Qamar, Manajemen……hal. 235.
[6] Mujamil Qamar, Manajemen……hal. 237-238
[7] Ibid, hal 235
[8]  Mujamil Qamar, Manajemen……hal. 236
[9] Mujamil Qamar, Manajemen……hal. 237

[10] Ahmad Mustafidin, 2004, ”Manajemen Konflik Relevansinya Dengan Pengembangan Lembaga Pendidikan Islam (Studi Kasus Pesantren Darul Amanah Sukorejo Kendal Jawa Tengah)”. Skripsi S1 . Fakultas Tarbiyah, IAIN Walisongo.
[11] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Presfektif Islam (Bandung: PT Remaja Rosdakarya 1992). Hal 201
[12] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan …………. Hal 197

Rabu, 16 September 2015

FILSAFAT DAN FILSAFAT ILMU: Antara Ilmu Induk dan Cabang
by sariono sby

A. PENDAHULUAN
Manusia dari setiap zaman pasti memiliki daya pikir dan imajinasi yang berbeda-beda. Apa yang dipikirkan orang sekarang berbeda dengan apa yang dipikirkan orang-orang 6.000 tahun yang lalu. Karena pada tangkapan obyek yang berbeda, menggunakan beberapa alat modern seperti teleskop, spektroskop, radioteleskop, dan lain sebagainya. Begitu pula karena sudah semakin berkembangnya teori-teori keilmuan sehingga bangunan keilmuan menjadi beda.
Melalui pengamatan yang diperoleh sebelumnya, manusia kemudian menangkap gejala-gejala obyek. Dengan penuh perhatian dan mencurahkan waktu untuk berpikir tentang obyek, ia akan sampai pada kesimpulan sementara atau hipotesa. Dan tentu tidak semua yang dipikirkan pada awal pengamatan akan memiliki hasil yang sama setelah mengadakan pengamatan.
Contoh yang sangat masyhur adalah sebagaimana yang dialami oleh Nabi Ibrahim as. Beliau berpikir melihat bintang, lalu berhipotesa itu adalah tuhan, ternyata salah. Beliau melihat rembulan, lalu berhipotesa itu adalah tuhan, ternyata salah. Dan beliau melihat matahari, lalu berhipotesa itu adalah tuhan, ternyata salah.
Perjalanan pemikiran Ibrahim sungguh membutuhkan segala curahan pikir dan hati. Dia masih bersikukuh ada pada pendiriannya dalam meyakini Tuhannya. Meski berbagai tekanan muncul, termasuk raja saat itu, yaitu Namrud. Namun Nabi Ibrahim masih bisa selamat dari segala rekasayanya. Beliau juga meyakini bahwa Tuhannya jauh lebih besar dari ketiga benda pengamatnnya. Bahkan Nabi Ibrahim juga mendakwahkan agamanya kepada Ayah dan Ibunya, meski dengan cara yang lembut dan halus.
Dari perjalanan panjang pengamatan, akhirnya Nabi Ibrahim menemukan Tuhannya dan mendakwahkannya kepada penduduk sekitarnya –termasuk ayahanda- yang menyembah berhala. Disinilah mengapa Allah menceritakan kembali kisah Nabi Ibrahim kepada orang Arab, agar menjadi peringatan bagi mereka betapa pentingnya makna kalimah tauhid.
Pengamatan-pengamatan, baik secara personal maupun kolektif dalam perkembangannya membentuk semacam garis-garis teori yang terus berkelanjutan. Disempurnakan dari satu peneliti kemasa peneliti selanjutnya. Karena banyaknya penelitian itu, maka banyak bidang tidak dapat dipahami oleh orang awam. Watak ilmiah tersembunyi dibalik susunan pengalaman ilmiah. Pemahaman yang saling berhubungan ini juga membentuk jaringan sistematik. Dan hahekat keterkaitan sistematis inilah yang menjadi urgensitas filsafat ilmu.

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Filsafat
Filsafat berasal dari dua kata bahasa Yunani, yaitu philos yang berarti senang, gemar, atau cinta, sedangkan Sophia dapat berarti kebijaksana. Jika digabungkan maka filsafat bisa berarti kecintaan terhadap kebijaksanaan. Kata lain dari filsafat adalah hikmah atau hakekat. Jadi kalau ada orang bertanya, “Apakah hikmah dari semua ini?”, maka ia telah berpikir secara falsafati.
Filsafat mengkaji masalah-masalah dari titik focus (inti) nya yang mutlak, terdalam, atau perenungan-perenungan yang mendalam tentang sebab ada dan perbuat. Pemikiran ini terjadi secara terus-menerus hingga mencapai titik penghabisan. Menjawab pertanyaan terakhir dengan mendalam sampai jadi teranglah kekaburan pengertian sehari-hari.
Filsafat tentang air misalnya. Jika dalam konteks sehari-hari, air adalah sesuatu untuk diminum yang dapat menghilangkan rasa haus dan dahaga. Tapi dalam kajian filsafat bukan hanya itu, tapi serangkaian kumpulan dari atom-atom yang membentuk satuan dengan kode kimia H2O. Air dapat berupa menjadi benda cair, pada (es), atau gas (uap).
Dalam arti yang populer, istilah filsafat sering kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari, entah sadar atau tidak. Dalam ranah ini, filsafat dapat berarti sebagai suatu pandangan hidup atau . dalam contohnya, kita sering berkata, “Saya tidak suka atas falsafah anda dalam berbisnis”. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Henderson, “Philosophy means one’s general view of life of men, of ideals, and of values, in this sence every one has a philosophy of life.” (Filsafat berarti satu pandangan umum kehidupan manusia, cita-cita, dan nilai-nilai, dalam pengertian ini setiap orang memiliki filosofi hidup.)
Selain itu filsafat juga bisa diartikan sebagai penafsiran atau penilaian terhadap sesuatu yang berarti bagi kehidupan umat manusia. Meskipun ada juga sebagian orang yang beranggapan bahwa filsafat hanya sekedar pandangan atau teori yang tidak tidak dapat bersentuhan dengan kehidupan praktis. Namun pada kenyataannya para filosof seperti Thomas Jefferson, Locke dan Stuart Mill telah mengembangkan suatu teori yang dianut oleh banyak orang.
Dalam dunia akademik filsafat diartikan sebagai kegiatan berpikir secara radikal. Yaitu sebuah pandangan yang kritis dan mendalam terhadap segala sesuatu yang ada. Atau, sebuah proses penelusuran pengetahuan sampai ke akar-akarnya. Sehingga tak salah jika Henderson merumuskannya sebagai pandangan yang sistematik dan iklusif tentang alam semesta, di mana manusia ada di dalamnya.
Dalam pengertiannya yang sempit, filsafat bisa berarti sebuah ilmu yang berhubungan dengan metode logis atau analisis logika bahasa dan makna-makna. Di sana filsafat diartikan sebagai science of science yang memberikan analisis terhadap asumsi dan konsep ilmu pengentahuan. Ia menjadikan ilmu pengetahuan sebagai obyek yang sistematis dan terorganisir.
Sedangkan dalam pengertiannya yang lebih luas, filsafat adalah suatu pandangan yang mengintegrasikan pengetahuan manusia dari segala macam pengalamannya menjadi suatu pandangan yang komprehensif tentang alam semesta. Berkaitan dengan hidup dan makna hidup. (Harold H Titus)
Filsafat adalah usaha manusia dengan akalnya untuk memperoleh suatu pandangan dunia dan hidup. Jadi filsafat dilahirkan karenana kemenangan akal atas dongeng dan mitos yang diterima dari kepercayaan masa lampau. Akal manusia berkembang dari masa ke masa. Sehingga lambat laun mereka tidak dapat menerima mitos dan dongeng-dongeng yang tidak bisa dibutktikan secara empirik. Maka macam-macam ilmu pengetahuan kemudian ditemukan oleh manusia. Pendekatan secara rasional terhadap gejala-gejala yang terjadi di dunia ini menghasilkan pendapat-pendapat yang bisa diteliti, dikoreksi dan diperdebatkan kebenarannya.
Jadi filsafat bisa diartikan sebagai usaha manusia mengerahkan akal pikirannya untuk semaksimal mungkin menjauh dari dogma-dogma yang dipaksakan kebenarannya. Karena bagaimanapun pada akhirnya orang-orang akan merasa janggal dengan informasi bahwa bumi ini dijulang oleh seorang dewa bernama Atlas. Atau, jika mereka diberitahu untuk menyembah Dewa bernama Zeus agar tehindar dari kesedihan dan malapetaka. Dan, masa sekarang ini, hanya sedikit saja yang percaya bahwa gerhana disebabkan oleh Buto Ijo yang tengah kelaparan dan memakan matahari atau bulan. Setelah orang-orang mengenal filsafat hal-hal macam itu, barangkali, hanya akan dianggap sebagai lelucon atau sekedar dongeng pengantar tidur buat anak-anak.
Filsafat meliputi segala sesuatu yang sekarang disebut ilmu pengetahuan atau science. Baik ilmu pasti, ilmu alam, ilmu astronomi, ilmu hayat, ilmu kedokteran dan ilmu politik. Suriasumantri mengatakan filsafat adalah suatu cara berpikir yang radikal dan menyeluruh, yang mengupas sesuatu sedalam-dalamnya.
Dari uraian di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa filsafat adalah sebuah kegiatan berpikir secara radikal, sistematis dan universal. Yang dimaksud berpikir radikal, berarti memikirkan segala hal dengan mendalam. Menelusuri sebuah pengetahuan sampai ujung. Dan, tidak berhenti hingga tercerabut akarnya. Sistematis, berarti mengacu pada sebuah kerangka berpikir yang memiliki tahapan-tahapan yang logis dan teratur. Sedangkan universal berarti membebaskan pikiran untuk menyelami suatu hal secara keseluruhan. Bukan hanya potongan-potongan kecil yang memberi pemahaman parsial. Oleh karenanya, berfilsafat berarti memikirkan sesuatu secara menyeluruh dengan sadar (yaitu berpikir secara telitit dan teratur) dan mematuhi hukum-hukum yang ada.
Haryono Semangun (1992) menyatakan bahwa kata filsafat (philosophos) itu sendiri pertama kali dipakai sejak abad ke-6 Masehi oleh Phytagoras. Konon, pada masa itu, Phytagoras adalah orang yang sangat dihormati karena kebijaksanaannya yang melebihi kebanyakan orang. Sehingga orang-orang menyebutnya Shopos (sangat bijaksana). Namun, dengan kerendahan hati dia menolak sebutan itu, dan mengatakan bahwa dirinya hanyalah seorang Philosophis (orang yang mencintai kebijaksanaan).
Jika melihat hal itu, maka sebenarnya tujuan filsafat adalah untuk mencapai kebijaksanaan. Karena sepanjang hidupnya manusia tidak pernah berharap akan menyesal dengan keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh pikirannya sendiri. Manusia memiliki hasrat yang kuat untuk memahami suatu hal secara utuh, benar dan jelas, agar mereka dapat memutuskan dengan tepat, apa yang harus mereka lakukan. Intinya mereka selalu menginginkan yang terbaik dari kehidupan yang dianugerahkan oleh tuhan kepada mereka.
Karena memiliki sikap dasar semacam itu, seharusnya manusia dapat dengan mudah menerima filsafat. Sehingga kebanyakan manusia selalu berhasrat untuk menemukan kebenaran dengan seterang-terangnya. Dan, karena sikap itu mereka menjadi kritis. Tidak mudah diyakinkan oleh sebuah pendapat tanpa terlebih dahulu mengujinya dengan penalaran logis sebagaimana kerangka yang telah ada. Mencintai filsafat berarti mampu menerima pendapat yang berbeda, dengan mengedepankan pendekatan kritik dan dialog.
Menurut Harun Nasution (1979) filsafat berasal dari akar kata bahasa arab Falsafa, kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi Falsafat. Sehingga ejaan filsafat yang sering digunakan selama ini adalah salah kaprah. Karena kata filsafat tidak berakar dari bahasa Arab ataupun bahasa Inggris (Phylosophi). Dia mendua istilah filsafat adalah serapan dari dua bahasa Arab dan Inggris sekaligus. Fil dari kata Philsophi (inggris) dan safah dari kata bahasa Arab (Falsafah). Namun dalam praktiknya Harun Nasution berpendapat bahwa kata filsafat jelas berasal dari bahasa Arab. Karena orang arab lebih dulu datang dan sekaligus mempengaruhi bahasa indonesia. Sehingga dalam setiap karyanya yang bertema filsafat dia selalu menggunakan istilah Falsafat.
Di kalangan filosof berkembang beberapa rumusan soal apa sesungguhnya pengertian dari filsafat. Lorens Bagus (1996). filsafat berarti:
1. Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas.
2. Upaya untuk melukisakan hakikat realitas akhir dan dasar serta nyata.
3. Upaya untuk menentukan batas-batas dan jangakauan pengetahuan: sumbernya, hakikatnya, keabsahannya dan nilainya.
4. Penyelidikan kritis atas penandaian-pengandaian dan pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan.
5. Disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu anda melihat apa yang anda katakan dan untuk mengatakan apa yang anda lihat.
Jika diteruskan pengertian filsafat tidak ada habisnya, karena masing-masing filsuf memiliki terminologi yang beragam. Bahkan bisa saling bertentangan antara satu dan lainnya. Karena masing-masing mereka memiliki gaya ungkapan dan titik tekan yang berbeda, berdasarkan latar budaya dan pengalaman yang tidak sama.
Namun, hal itu tidaklah menjadi permasalahan yang mendasar. Karena pada dasarnya filsafat itu ada agar manusia menggunakan akal pikirannya semaksimal mungkin. Yang terpenting adalah aktifitas berpikir tersebut, bukan terminologinya. Biarlah orang terlebih dahulu melakukan penelitian, baru kemudian membuat kesimpulan dengan bingkai logikanya sendiri. Dari bermacam-macam terminologi di atas, yang perlu diketahui oleh seseorang hanyalah ciri dan karakteristik filsafat yang paling pokok, yaitu upaya secara sungguh-sungguh dengan menggunakan akal pikiran untuk menemukan hakikat segala yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan.

2. FILSAFAT ILMU
a. Pengertian Ilmu
Dalam hati, manusia memiliki bermacam-macam dorongan dan keinginan. Namun, sepanjang sejarah umat manusia hasrat yang paling menyita perhatian hanyalah dorongan untuk mengerti atau memahami segala sesuatu. Dalam buku Metaphysica, Aristoteles menjelaskan bahwa setiap manusia memiliki dorongan kodrati untuk memahami segala sesuatu.
Perhatikan reaksi anak kecil ketika disodori sebuah benda. Pertama-tama dia akan memperhatikannya, jika cukup menarik di indra penglihatannya, maka tergerak tangannya untuk meraba, lalu memasukkannya ke dalam mulut. Semua itu adalah proses paling mula dalam kehidupan manusia untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Seiring dengan bertambahnya kemampuan linguistik manusia, mereka mulai menggunakan bahasa untuk menanyakan segala hal. Hal itu menunjukkan betapa manusia sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari ilmu.
Kata Ilmu itu sendiri berakar dari bahasa Arab alima yang berarti mengerti, memahami benar-benar. Sedangkan dalam bahasa inggris disebut science, dari bahasa latin scientia, yang berarti pengetahuan- scire (mengetahui). Dalam bahasa Yunani disebut episteme (Suriasumantri; 1998) .
Secara umum mengerti dapat diartikan sebagai “setiap kegiatan dengan mana subyek dengan cara tertentu mempersatukan diri dengan suatu obyek”. Apa yang disebut mengerti itu selalu mengandung suatu hubungan antara subyek dan obyek. Subyek yang mengerti dan obyek yang dimengerti. Sedangkan obyek itu dapat berupa satu barang atau apa saja, bahkan bisa berupa subyek itu sendiri (manusia).
Dalam proses “menjadi mengerti” itu terjadi penyatuan antara subyek dan obyek. Penyatuan ini berlangsung dengan cara nonfisis (batiniah). Jadi tidak dapat dibayangkan bahwa proses tersebut berlangsung seperti roti yang kita kunyah dan kemudian inti sarinya menyatu menjadi darah dan daging. Tapi proses tersebut belangsung secara ideal dengan perantara idea. Bisa juga disebut gambaran batin yang dibentuk oleh pikiran berdasarkan apa yang ditangkap oleh panca-indra.
Pengertian harus melalui beberapa tahapan tertentu sehingga menjadi pengetahuan. Seperti ketika orang melihat pelangi. Mereka mengetahui melalui panca indra bahwa obyek yang disebut pelangi itu terdiri dari warna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu. Tidak puas hanya dengan itu, maka pikiran mereka mulai menyusun, mengatur, menghubungkan dan mempersatukan bermacam pengalaman, lalu mencoba mencari keterangan sejelas-jelasnya. Sehingga mereka memahami apa sesungguhnya pelangi itu dan bagaimana warna-warna itu bisa muncul seperti demikian adanya.
Endang Saifudin Anshari memaparkan beberapa definisi ilmu menurut para ahli. Menurut Mohammad Hatta, ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu gologan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut bangunannya dari dalam.
Menurut Ralp Ross dan Ernest Van Den Haag, ilmu adalah gabungan dari berbagaimacam pengetahuan yang tersusun secara empiris, rasional, umum dan sistematik.
Ilmu adalah sebagian pengetahuan yang mempunyai ciri, tanda, syarat tertentu, yaitu sistematis, rasional, empiris, universal, obyektif, dapat diukur, terbuka dan kumulatif. Wihadi Admojo (1998) menjelaskan pengertian ilmu sebagai pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun dengan sistem tertentu menurut metode yang khusus. Sehingga dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu dalam bidang (pengetahuan) tertentu.
Sedangkan untuk pembagian ilmu, Abu Hamid atau yang dikenal Imam Ghozali membaginya menjadi 2, yaitu: ilmu yang wajib dicari bagi masing-masing individu seseorang (fardhu ain) dan ilmu yang wajib dicari bagi sebagian umat manusia (fardhu kifayah). Ilmu yang pertama merupakan ilmu-ilmu yang berhubungan langsung dengan Sang Maha Pencipa. Adapun ilmu yang kedua merupakan bentuk dari adanya interaksi sosial.

b. Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu pengetahuan. Secara metodologis tidak ada dikotomi tegas yang memisahkan antara ilmu-ilmu alam dan sosial. Karena masing-masing tidak memiliki perbedaan prinsipil yang mencirikan cabang filsafat ilmu tersendiri, yang bersifat otonom. Hanya saja para ahli seringkali membedakannya (ilmu alam dan sosial) karena permasalahan teknis yang bersifat khas. Dan pembagian itu lebih bersifat pembatasan dalam bidang-bidang yang ditelaah.
Filsafat ilmu merupakan telaah filsafati yang ditujukan untuk menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Sehingga muncullah tiga landasan pokok yang sangat dikenal di kalangan ahli filsafat: Ontologi, Epistemologi dan fisiologi.
Landasan ontologis meliputi beberapa pertanyaan: Obyek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia hingga akhirnya membuahkan pengetahuan?
Landasan Epistemologi mengacu pada pertanyaan: bagaimana proses yang memungkinkan untuk menimba ilmu tersebut? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara, teknik dan sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?
Landasan Aksiologis mengacu pada pertanyaa: apa kegunaan ilmu tersebut untuk kehidupan manusia? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antra teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/professional?
Secara sederhana untuk membedakan jenis pengetahuan yang satu dari lainnya ialah dengan mengajukan pertanyaan: apa yang dikaji oleh pengetahuan tersebut? (Ontologi); Bagaimana cara mendapatkan pengetahuan tersebut? (Epistemologi) dan apa gunanya pengetahuan tersebut bagi umat manusia? (Aksiologi)

3. OBYEK FORMAL DAN MATERIAL FILSAFAT ILMU
Manusia diciptakan dengan memiliki perangkat mulia, yaitu akal. Dengan akallah manusia bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Prilaku berpikir akan menghantarkan seseorang pada proses analisa terhadap suatu obyek. Menjadikan dirinya kritis atas segala kejadian yang ada.
Obyek merupakan suatu yang penting dalam segala hal. Tidak terkecuali bagi disiplin ilmu. Karena dengan obyek yang jelas, maka kerangka berpikir menuju tujuan kajian semakin tampak. Dan sebaliknya, jika obyek kajian tidak jelas, maka akan melahirkan sebuah disiplin ilmu yang tidak bermetode.
Setiap ilmu memiliki dua macam obyek, yaitu material dan formal. Obyek material merupakan sesuatu yang dijadikan sasaran penelitian. Seperti dalam ilmu kedokteran yang menggunakan tubuh sebagai obyek material. Adapun obyek formalnya adalah metode guna memahami obyek material tersebut. Filsafat Ilmu sebagai proses berpikir secara sistematis dan radikal juga memiliki obyek material dan formal.
Obyek material filsafat merupakan segala bentuk yang ada, baik yang tampak maupun tidak. Yang tampak berada dalam ranah empiris dan yang tidak tampak berada dalam ranah metaf isik. Sebagian filosof membagi obyek material dalam 3 bagian, yaitu: alam empiris, alam pikiran, dan alam kemungkinan. Adapun obyek formal filsafat adalah sudut pandang yang menyeluruh, radikal, dan rasional.
Keberadaan obyek filsafat lebih luas dari ilmu lainnya. Penelitian filsafat merupakan segala yang ada dan tidak terbatas. Jika ada pertanyaan apa perbedaan antara obyek filsafat dengan obyek ilmu pengetahuan lainnya?. Maka dijawab, bahwa filsafat memiliki sifat mendalam, seakar-akarnya (radikal). Dan ilmu lainnya hanya terbatas pada sesuatu yang bisa diselidiki secara ilmiah saja.
Bukan hanya itu, sifat radikal yang melekat pada filsafat dalam kondisi tertentu akan menampakkan hasil kerjanya ketika ilmu pengetahuan sudah tidak mampu lagi memberi jawaban atas masalah. Inilah cirri khas yang membedakan filsafat dengan ilmu pengetahuan.
Menurut Jujun S. Suriasumantri (1984), bahwa pada hakekatnya, secara historis semua ilmu berawal dari filsafat. Karena berawal dari berpikir radikal dan sistematis kemudian dalam perkembangan waktu yang cukup lama sehingga memunculkan terori-teori baru yang kemudian bercabang dan berkembang sehingga menimbulkan spesifikasi yang menampakkan kegunaan dalam dunia praksis.

4. RUANG LINGKUPAN FILSAFAT ILMU
Karena hubungan yang erat antara filsafat dengan ilmu pengetahuan, maka tidak salahlah jika para filosof menamakan filsafat sebagai induknya ilmu (mother of science). Dari filsafat telah lahir ilmu-ilmu modern dan kontemporer. Sehingga manusia bisa menikmati ilmu dan tehnologi sebagai buahnya. Awalnya fisafat terbagi menjadi filsafat teoritis mencakup matefisika, fisika, matematika, dan logika. Sedangkan filsafat praktis adalah ekonomi, politik, hukum dan moral. Setiap disiplin ilmu ini kemudia berkembang dan mengkhususkan pada suatu pembahasan, seperti fisika berkembang menjadi biologi. Dan biologi berkembang menjadi anatomi, dan kedokteran.
Bahkan dalam perkembangan selanjutnya, filasafat bukan hanya menjadi sumber ilmu tapi sudah merupakan bagian dari ilmu sendiri yang juga mengalami spesialisasi. Dalam taraf ini, filsafat tidak mencakup secara keseluruhan tapi sudah mengalami partikulasi. Contohnya adalah filsafat agama dan hukum. Dan filsafat ilmu adalah bagian perkembangan filsafat yang sudah terkotak dalam satu bidang tertentu. Filsafat ilmu yang sedang dibahas adalah bagian yang tidak terpisahkan dari tuntunan bahwa filsafat bukan hanya berada di pantai, namun kjuga diharuskan membimbing ilmu. Selain itu, perkembangan ilmu pengetahuan yang super cepat menyebabkan ilmu semakin jauh dari induknya. Begitu pula dalam proses ini, terkadang muncul arogansi yang tidak sehat antara satu bidang ilmu dengan bidang ilmu lainnya. Disinilah titik strategis filsafat sebagai ilmu yang menyatukan visi keilmuan itu sendiri. kemudian, dalam konteks ini, kajian filsafat sangat relevan untuk dikaji dan didampingi.

5. PROBLEM-PROBLEM DALAM FILSAFAT ILMU
Dalam sejarah manusia usahama memahami dunia dapat dilakukann dengan 2 sarana, yaitu: melalui pengalaman ilmiah (scientific knowledge) dan gaib (mystical explanations). Manusia memiliki pengetahuan yang sistematis dengan berbagai hipotesis yang telah dibuktikan kebenarannya . Tapi disatu sisi ada pengetahuan yang berada diluar jangkauan nalar manusia. Dan diantara itu masih ada pemahaman yang sudah diuji namun belum sah untuk dibuktikan kebenarannya.
Dalam mengembangkan keilmuannya, para peneliti mengkonsentrasikan diri pada wilayah kedua, yaitu sebuah pengetahuan yang sudah diuji namun belum bisa disahkan menurut system penelitian.
Untuk itu ada beberapa metodologi yang dapat menjadi solusi terhadap permasalah keilmuan, yaitu, deduksi, induksi dan dialektika.
Metode deduktif berpola dari prinsip-prinsip umum yang kemudian ditarik menjadi sebuah kesimpulan, dan diterapkan untuk hal-hal khusus. Contohnya:
· Semua manusia akan mati (prinsip umum)
· Semua presiden adalah manusia (prinsip khusus)
· Maka semua presiden pada akhirnya akan mati (kesimpulan)
Sedangkan metode induktif berpola kebalikannya. Yaitu mengambil kesimpulan dari hal-hal yang bersifat khusus, lalu diterapkan untuk hal yang umum.
· Amir adalah presiden (prinsip khusus)
· Amir akan mati (prinsip yang bersifat umum)
· Semua presiden akan mati (kesimpulan)
Metode dialektika adalah kerangka pikiran yang menggunakan tiga jenjang penalaran untuk mengambil sebuah kesimpulan: tesis, antitesis dan sintesis. Metode ini mengembangkan argumentasi dengan melalui beberapa proses yang saling mempengaruhi satu sama lain. Metode ini dalam prosesnya tidak pernah menyajikan sebuah pemahaman yang sempurna tentang kebenaran. Sehingga selalu menyisakan alternatif yang baru. Semakin dalam orang memasuki tahapannya, semakin ia akan menemukan kesulitan-kesulitan baru. Sampai ia dapat menguak problematika aslinya. Dengan kerangka berpikir seperti itu semakin terbuka kemungkinannya orang akan mendekati kebenaran.
Proses dialektika selalu terdiri dari tiga fase. Fase pertama disebut tesis, yang menampilkan lawan dari fase kedua yang disebut antitesis. Akhirnya, timbullah fase ketiga yang disebut sintesis yang mendamaikan antara tesis dan antitesis yang salaing berlawan. Sintesis yang telah dihasilkan dapat menjadi tesis pula yang menampilkan antitesis lagi dan akhirnya kedua-duanya menjadi sintetis baru. Demikianlah selanjutnya setiap sintesis dapat menjadi tesis.
Tanpa kerangka pikiran yang logis mustahil manusia bisa menemukan kebenaran. Bahkan, dengan metode-metode di atas sekalipun tidak memberikan jaminan seratus persen bahwa orang akan menemukan kebenaran. Namun, setidaknya hal itu bisa sedikit membantu untuk memuaskan hasrat manusia untuk merengkuh pengetahuan.

C. KESIMPULAN
Filsafat merupakan induk semua ilmu (mother of science). Sifat utama radikalnya mampu memerankan posisi diantara ilmu pengetahuan lainnya. Kemudian filsafat ilmu merupakan perkembangan dari cabang filsafat. Dia memiliki cara yang sistematis sehingga melahirkan bangunan-bangunan teori baru. Karena merupakan cabang maka kajian tentang filsafat ilmu sudah memiliki batas-batasnya.
Obyek filsafat ilmu memiliki dua ranah yaitu materi dan formal. Obyek materi merupakan pusat kajian yang menjadi sasaran kajian. Obyek formal adalah bangunan teori dan keilmuan yang menjadi metode (manhaj) agar sampai pada pusat kajian.
Dalam perjalanannya, manusia selalu berusaha menguak berbagai kejadian sehingga melahirkan teori-teori baru. Pengujian manusia pada masalah-masalah yang telah muncul akan berpotensi besar menambah semakin berkembangnya ilmu pengetahuan.